REMUNERASI SEBAGAI PENGHARGAAN KINERJA PEGAWAI PEMERINTAH

REMUNERASI SEBAGAI PENGHARGAAN KINERJA PEGAWAI PEMERINTAH

oleh Diah Ekaningtyas

ABSTRAK

Remunerasi merupakan suatu penghargaan yang diberikan pemerintah atas kinerja suatu pegawai pada suatu instansi pemerintah berupa tambahan tunjangan gaji. Namun, penerapan remunerasi ini sering dinilai tidak efektif mengubah budaya kerja pegawai dan menimbulkan kesenjangan sosial antar instansi pemerintah. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan terhadap kriteria penilaian remunerasi dan tentang kaitannya terhadap kinerja pegawai perintah itu sendiri.

Kata kunci : Reminerasi, kinerja dan budaya organisasi.

  1. I. PENDAHULUAN

Keluhan masyarakat terhadap kualitas pelayanan birokrasi publik sebagian besar instasi pemerintah masih sering muncul saat ini. Hal tersebut menandakan buruknya citra birokrasi pemerintah. Reformasi Birokrasi merupakan salah satu cara Pemerintah dalam membenahi citra buruk dari birokrasi pemerintah yang korup sehingga dapat menciptakan aparatur Negara yang Bersih, Efektif, Efisien, Produktif, dan Sejahtera (BEEPS).

Didalam UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025, Bab IV butir 1.2 menyebutkan :

Pembangunan aparatur Negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur Negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun daerah, agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang – bidang lainnya”.

Berdasarkan Undang – undang tersebut, Reformasi Birokrasi mulai dilakukan di berbagai instansi pemerintah baik pusat maupun daerah.

Lebih lanjut menurut Marli Dahyaridi (2008), Reformasi Birokrasi pada dasarnya mencakup 3 (tiga) program besar yakni :

  1. 1. Reformasi Birokrasi, merupakan usaha pembenahan profesionalisme pegawai negeri, sistem kepegawaian nasional, rasionalisasi jumlah pegawai negeri, penerapan reward & punishment system, dan penataan hubungan antara birokrasi dengan partai politik;
  2. 2. Reformasi Institusi, merupakan usaha pembenahan dan pembentukan institusi pemerintah yang efektif, efisien, produktif dan berorientasi kinerja;
  3. 3. Reformasi Sistem Manajemen Keuangan, merupakan usaha pembenahan sistem manajemen keuangan pemerintah mulai dari aspek perencanaan, pelaksanaan hingga pasca pelaksanaan, termasuk sistem pelaporan keuangan yang efisien, efektif, dan berdasarkan prinsip tata kelola yang baik.

Reformasi Birokrasi pertama kali dilaksanakan melalui Reformasi Remunerasi dengan menunjuk Kementerian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan dan Mahkamah Agung sebagai Pilot Project Reformasi Remunerasi.

Reformasi Remunerasi merupakan penghargaan (reward) kinerja pegawai pemerintah berupa tambahan tunjangan kinerja pegawai diluar gaji pokok dengan standar tertentu. Namun, pembentukan aparatur negara yang bersih, efektif, efisien, produktif, dan sejahtera melalui remunerasi belum dapat terukur efektifitasnya.

Remunerasi yang telah diterapkan pada beberapa Instansi Pemerintah tersebut di atas menyebabkan Instansi Pemerintah yang lain berlomba untuk dapat masuk dalam antrian instansi yang akan mendapat remunerasi selanjutnya. Hal ini mengindikasikan terjadinya kesenjangan sosial diantara pegawai pemerintah tersebut. Sebagai contoh, pendapatan pegawai Instansi Pemerintah yang telah mendapatkan remunerasi untuk golongan II (dua) mencapai Rp. 3 juta per bulan, sedangkan pegawai dengan golongan yang sama pada Instansi Pemerintah yang belum mendapatkan remunerasi hanya sebesar Rp. 1,5 juta. Padahal belum tentu pegawai dengan gaji Rp. 3 juta per bulan tersebut memiliki kinerja yang lebih baik dari pada pegawai yang mendapatkan gaji Rp 1,5 juta per bulan. Hal tersebut dapat dikarenakan kinerja mereka tidak terukur dan tidak adanya prosedur yang jelas dalam pengukuran kinerja.

  1. II. KAJIAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

Pada bagian ini membahas Budaya Organisasi, Kinerja, dan Remunerasi.

  1. Budaya Organisasi

Budaya organisasi atau budaya perusahaan adalah nilai, norma, keyakinan, sikap dan asumsi yang merupakan bentuk bagaimana orang-orang dalam organisasi berperilaku dan melakukan sesuatu hal yang bisa dilakukan. Nilai adalah apa yang diyakini bagi orang-orang dalam berperilaku dalam organisasi. Norma adalah aturan yang tidak tertulis dalam mengatur perilaku seseorang (Muhammad Baitul Alim, 2010).

Budaya organisasi kemudian berkembang menjadi budaya kerja yang meliputi kedisiplinan, sikap dan perilaku serta efektifitas jam kerja pegawai dalam suatu organisasi/institusi.

  1. Kinerja

Lawler dan porter ( 1967 ), yang menyatakan kinerja adalah kesuksesan seseorang dalam melaksanakan tugas. Prawirosentono ( 1999 ), mengemukakan kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika. Dalam perspektif model harapan, kinerja merupakan fungsi dari kemampuan dan motivasi ( Gibson et al, 1985:185 ).

Sedangkan penegertian Kinerja pegawai menurut Bambang Kusriyanto yang dikutip oleh Harbani Pasolong dalam bukunya “Teori Administrasi Publik” adalah “Kinerja pegawai adalah hasil kerja perseorangan dalam suatu organisasi”. (Pasolong, 2007:175)

  1. Remunerasi

Remunerasi adalah merupakan imbalan atau balas jasa yang diberikan perusahaan kepada tenaga kerja sebagai akibat dari prestasi yang telah diberikannya dalam rangka mencapai tujuan perusahaan. Pengertian ini mengisyaratkan bahwa keberadaannya di dalam suatu organisasi perusahaan tidak dapat diabaikan begitu saja. Sebab, akan terkait langsung dengan pencapaian tujuan perusahaan. Remunerasi yang rendah tidak dapat dipertanggungjawabkan, baik dilihat dari sisi kemanusiaan maupun dari sisi kelangsungan hidup perusahaan.

Secara teoritis dapat dibedakan dua sistem remunerasi, yaitu yang mengacu kepada teori Karl Mark dan yang mengacu kepada teori Neo-klasik. Kedua teori tersebut masing-masing memiliki kelemahan. Oleh karena itu, sistem pengupahan yang berlaku dewasa ini selalu berada diantara dua sistem tersebut. Berarti bahwa tidak ada satupun pola yang dapat berlaku umum. Yang perlu dipahami bahwa pola manapun yang akan dipergunakan seyogianya disesuaikan dengan kebijakan remunerasi masing-masing perusahaan dan mengacu kepada rasa keadilan bagi kedua belah pihak (perusahaan dan karyawan).

III. PEMBAHASAN

Kinerja Pegawai pada salah satu instansi pemerintah diukur berdasarkan 2 (dua) aspek yaitu kedisiplinan dan pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi. Aspek disiplin memiliki bobot sebesar 60%, dan pelaksanaan Tupoksi sebesar 40%. Perbandingan bobot aspek disiplin yang lebih besar dibanding pelaksanaan tupoksi didasarkan pada penilaian disiplin pegawai yang masih kurang. Pegawai negeri masih memiliki citra buruk, yaitu datang siang pulang cepat, sering meninggalkan pekerjaan saat jam kerja, atau datang hanya untuk membaca surat kabar. Citra buruk tersebut dalam kenyataannya memang benar adanya pada beberapa unit bagian, namun pada umumnya hal tersebut terjadi pada pegawai – pegawai senior yang kurang memiliki semangat untuk belajar sesuatu yang baru. Sebagai contoh, banyak pegawai senior yang tidak dapat mengoperasikan komputer, hal ini sangat menghambat kinerja, karena sebagian besar pekerjaan saat ini dikerjakan menggunakan komputer. Meskipun demikian, pada umumnya mereka tidak ada keinginan belajar, sehingga atasan tidak dapat memberikan pekerjaan pada mereka. Hal tersebut berdampak pada beban kerja yang tidak berimbang antar pegawai pada suatu unit. Pegawai “baru” yang memiliki kemampuan mengoperasikan komputer dan berbahasa asing pada umumnya mendapat pekerjaan yang berlimpah, bahkan menyebabkan jam kerjanya melebihi jam kerja normal (produktifitas tinggi). Sangat ironi melihat sejumlah pegawai sangat sibuk oleh pekerjaannya yang tak kunjung usai, sisi lain pegawai lain duduk santai membaca surat kabar dan saling bercengkrama.

Produktifitas tinggi pada instansi yang sudah mendapat remunerasi dinilai dan diberikan penghargaan berupa tunjangan remunerasi, namun hal tersebut tidak terjadi pada instansi yang belum mendapat remunerasi. Tunjangan remunerasi tersebut diharapkan dapat menggerakkan pegawai – pegawi yang kurang produktif untuk lebih aktif memperbaiki diri sehingga mendapatkan tugas/pekerjaan dari atasannya. Namun, pada instansi yang sudah memiliki remunerasipun dalam kenyataannya masih terdapat pegawai yang tidak produktif. Sebagian besar dari mereka merasa sudah tidak mampu memperbaiki diri dan pasrah dengan keadaan yang ada. Tuntutan produktifitas dan disiplin yang tinggi menyebabkan mereka merasa terlalu “tua” untuk mengejarnya. Pada umumnya hal tersebut terjadi pada pegawai yang sudah mendekati masa pensiun.

Remunerasi idealnya memang ditujukan untuk meningkatkan produktifitas dan kedisiplinan serta mengubah budaya kerja pegawai. Hal tersebut tidaklah mudah. Penerapan sistem remunerasi memerlukan pengawasan atasan langsung dalam menilai kinerja pegawai di bawahnya. Jika tidak maka banyak pegawai yang “mencari – cari” cara untuk mendapatkan remunerasi tersebut.

Salah satu Instansi pemerintah di Jakarta telah berupaya memenuhi persyaratan remunerasi yang telah ditetapkan Tim Independen Remunerasi. Instansi tersebut telah membuat beberapa prosedur efisiensi pelayanan berupa percepatan pelayanan publik, perbaikan informasi public, serta berbagai tools penunjang untuk dapat mengukur kinerja pegawai, dan kinerja  unit kerja di bawahnya. Diawali dnegan merubah sistem perencanaan yang menggunakan berbagai tools manajemen seperti Balanced Score Card, menyusun KPI (Key Performance Indikator), dan membentuk sub bagian manajemen kinerja pegawai sebagai tim penilai dan pengawas kinerja.

Tim penilai dan pengawas kinerja harus dapat menerapkan aspek – aspek penilaian kinerja secara objektif. Aspek – aspek penilaian kinerja yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja menurut Bernardin dan Russel ( 1995 : 383 ) yaitu:

  1. Quality, Merupakan tingkat sejauh mana proses atau hasil pelaksanaan kegiatan mendekati kesempurnaan atau mendekati tujuan yang diharapkan.
  2. Quantity, merupakan jumlah yang dihasilkan, misalnya jumlah rupiah, unit, siklus kegiatan yang dilakukan.
  3. Timelinness, merupakan sejauh mana suatu kegiatan diselesaikan pada waktu yang dihendaki, dengan memperhatikan koordinasi output lain serta waktu yang tersebut untuk kegiatan orang lain.
  4. Cost effectiveness, merupakan tingkat sejauh mana penggunaan sumber daya organisasi ( manusia, keuangan, teknologi, dan material) dimaksimlkan untuk mencapai hasil tertinggi atau pengurangan kerugian dari setiap unit penggunaan sumber daya.
  5. Need for supervision, merupakan tingkat sejauh mana seorang pekerja dapat melaksanakan suatu fungsi pekerjaan tanpa memerlukan pengawasan seseorang supervisor untuk mencegah tindakan yang kurang diinginkan.
  6. Interpersonal impact, merupakan tingkat sejauh mana pegawai memelihara harga diri, nama baik, dan kerja sama diantara rekan kerja dan bawahan.

Diharapkan dengan sistem yang telah terbentuk tersebut budaya kerja pegawai instansi pemerintah dapat berubah dan memperoleh penghargaan lebih atas kinerja mereka melalui penerapan tunjangan remunerasi.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Tunjangan remunerasi yang telah diterapkan di beberapa instansi pemerintah hendaknya di tinjau kembali efisiensi dan efektifitasnya mengingat beban kerja yang tidak merata.

Tinggalkan komentar