UJIAN NASIONAL FORMULASI BARU TETAP MEMBUAT SISWA STRESS

TUGAS TEORI ORGANISASI UMUM

TEMA : KASUS/MASALAH METODE ORGANISASI

OLEH  : DIAH EKANINGTYAS (18110052)

KELAS : 2KA20

 

UJIAN NASIONAL

FORMULASI BARU TETAP MEMBUAT SISWA STRESS

 

Formulasi baru ujian nasional (UN) yang akan diterapkan 2011 ini ditengarai tetap akan membuat para siswa pesertanya stress karena titik berat syarat kelulusan siswa tetap pada UN, bukan hasil proses belajar di sekolah.

Koordinator Education Forum Suparman mengatakan, dengan presentasi 60 : 40 antar UN berbanding ujian sekolah dan rapor semester 3,4,5 UN tahun ini tetap menjadi faktor signifikan penentu kelulusan siswa. Hal ini membuat tkanan psikologis yang dialami para siswa peserta UN tetap tinggi seperti pelaksanaan tahun tahun sebelumnya. “Proses belajar selama tiga tahun masih ditentukan dalam beberapa hari ujian. Apalagi sekarang tidak berlaku lagi ujian ulangan bagi peserta yang dinyatakan tidak lulus UN”, kata Suparman di Jakarta kemarin.

Untuk mencegah siswa stress Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) harus secepatnya menyosialisasikan secara rinci teknis formulasi baru UN kepada seluruh siswa dan guru. “Selain sosialisasi, yang juga sangat penting saat ini adalah pemberian motivasi kepada para siswa calon peserta UN. Jangan sa,pai mereka hanya memahami regulasi UN setengah – setengah”, desaknya.

Pengamat pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Said Hamid Hasan, menilai UN tidak selaras dengan prinsip dasar edukasi di mana oendidikan yang sebenarnya terjadi pada proses belajar sehari – hari bermuara pada metode kejar tayang. “Akhirnya UN tidak mempunyai makna apa – apa selain menakut-nakuti anak didik. Mata pelajaran yang diujikan di UN punhanya sebagian dari pelajaran yang diajarkan selama tiga tahun”, ujarnya.

Said juga mengkritik persentase UN yang lebih besar dari pada nilai ujian sekolah dan rapor. “Seharusnya persentase 70 : 30. Ini akan lebih menjamin potensi anak”, sebutnya. (neneg zubaidah- Koran SINDO).

Tanggapan :

Ujian Nasional merupakan salah satu metode yang diterapkan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan serta kualitas generasi muda Indonesia. Namun, cara ini menyebabkan psikologis anak menjadi terbebani sehingga menimbulkan stress yang dapat mempengaruhi hasil UN. Tidak jarang anak yang selalu mendapatkan rangking di sekolah ataupun yang telah diterima di universitas negeri ternama gagal dalam UN. Penerapan UN ini bukan tahun pertama dan selalu ada perubahan sistem dalam penerapannya. Semoga perubahan sistem UN ini dapat menjadi suatu evaluasi yang tepat guna pencapaian sasaran yang diinginkan.

QUO VADIS ATURAN TENTANG ROKOK

TUGAS TEORI ORGANISASI UMUM

TEMA : JURNAL/ARTIKEL METODE ORGANISASI

OLEH  : DIAH EKANINGTYAS (18110052)

KELAS : 2KA20

 

QUO VADIS ATURAN TENTANG ROKOK

 

Banyak Negara – Negara berpenghasilan rendah yang terkena dua wabah besar, yaitu tuberkulosis dan tembakau. Tuberkulosis sudah menyebabkan penderitaan dan kematian sebagai wabah pertama. Apalagi, meningkatnya kasus HIV (human immunodeficiency virus) terutama pada anak muda menambah jumlah penderita tuberculosis. Wabah kedua yang penting pada  Negara uang berpenghasilan rendah adalah tembakau. Bahkan, World Bank tahun 1999 pernah mengeluarkan pernyataan “Dengan pola merokok  sekarang ini 500 juta orang yang hidup hari ini akhirnya akan terbunuh oleh penggunaan tembakau. Lebih dari separuh di antaranya saat ini adalah anak dan remaja. Hingga tahun 2030, temabaku diperkirakan akan menjadi penyebab tunggal besar kematian di seluruh dunia”.

Di Indonesia sendiri, kebiasaan merokok pada masyarakat semakin lama semakin tinggi tingakt konsumsinya. Data dari Tonacco Control Support Centre (TCSC) Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia bahwa konsumsi rokok di Indonesia tahun 2007 sebanyak 240 miliar batang. Jika kita lihat fakta lain terhadap prevelesi merokok tahun 2001, sebanyak 31,5 % orang dewasa merokok dan meningkat menjadi 34,4 % oada tahun 2004. Hal yang lebih memprihatinkan  adalah prevelensi merokok pada usia 15 – 19 tahun 2001 sebanyak 12,7% dan meningkat 4,6 % menjadi 17,3% pada tahun 2004. Data dari WHO tahun 2008, Indonesia menempati peringkat ketiga jumlah perokok terbesar setelah China dan India. Hampir sama seperti penderita tuberkulosis paryu (TBC paru) yang juga menduduki peringkat ketiga setelah India dan China.

Biaya Ekonomi

Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional BPS tahun 2004, 71% keluarga Indonesia punya minimal 1 perokok dengan 84% berusia 15 tahun ke atas. Ini akan meningkatkan kerentanan perokok pasif di rumah karena perokok pasif memiliki resiko tiga kali lebih berbahaya untuk menderita penyakit akibat rokok dibandingkan perokok aktif. Kematian akibat rokok sebanyak 427,948 orang/tahun, yang berartui sama dengan 1.172 orang perhari. Ada sekitar 1,5 juta orang dari rumah tangga peroko yang berobat penyakit hipertensi dengan biaya yang dihabiskan mencapai TRp. 219 miliar sebulan atau Rp. 2,6 triliun setahun.

Survei yang sama juga menggambarkan bahwa rumah tangga perokok juga mengeluarkan belanja untuk berobat penyakit asma sebanyak Rp. 1,1 triliun, penyakit TBc sebesar Rp. 636 miliar, penyakit pernapasan lain Rp. 4,3 triliun, dan penyakit jantung Rp. 2,6 triliun. Tanpa subsidi biaya rawat inap, maka total biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat karena penyakit yang berkaitan dengan tembakau berjumlah Rp. 15,44 triliun. Perhitungan ini diluar kerugian tidak langsung akibat rokok lebih besar.

Bahkan, peneliti dari Kementerian Kesehatan mendapatkan angka kerugian ekonomi  total penduduk Indonesia Rp. 338,75 triliun atau enam kali penerimaan pemerintah dari cukai rokok. Angka itu sendiri senilai dengan anggaran belanja Kementerian Kesehatan selama 15 tahun. Kerugian dihitung dari jumlah yang dibelanjakan untuk rokok, biaya berobat penyakit akibat rokok, biaya yang hilang akibat tidak bekerja karena sakit, dan penghasilan yang tidak diterima dari anggota keluarga yang meninggal karena penyakit akibat rokok.

Sering kita berpikir bahwa jika terjadi regulasi rokok yang ketat akan terjadi defisit pemasukan Negara dari bea cukai rokok dan pengurangan penerimaan pemerintah karena industri rokok memberikan sumbangan besar pada penerimaan pemerintah. Selain itu, ada pemikiran dengan semakin meningkatnya cukai rokok dampak lainnya akan menurunkan anga ekspor rokok. Hal lain yang menjadi alasan penolakan terhadap regulasi rokok adalah regulasi yang ketat terhadap rokok akan mengakibatkan petani tembakau dan industri rokok menjadi mati. Ini sebagian dari beberapa  argumentasi yang didengungkan pemangku kepentingan industri rokok. Boleh saja para pemangku industri rokok tersebut berargumentasi demikian tapi fakta di lapangan berbicara beda. Pemasukan Negara dari cukai rokok jika dibandingkan dengan penerimaan Negara hanya sekitar 6 – 7%, dan ini jauh dibawah penerimaan dari PBB dan PPh.

Jika cukai dinaikkan sebesar 10%, volume penjualan akan berkurang  0,9 – 3% tetapi peneriman cukai akan bertambah 29,59 triliun. Cara yang paling efisien untuk meningkatkan penerimaan pemerintah dari rokok adalah dengan meningkatkan cukai rokok. Dengan tetap mempertahankan cukai rokok maka konsumsi akan cenderung meningkat pada anak – anak dan remaja.

Sementara pada sisi eksporpun akan begitu terpukul. Faktanya ekspor rokok selama tahun 1999 – 2007 hanya sebesar 0,22 – 0,31 % dibanding jumlah seluruh nilai ekspor. Tahun 2006 jumlah rokok yang diekspor sebanyak 41 juta batang padahal yang diproduksi di dalam negeri  244 juta batang, artinya sebagian besar 983%) rokok produksi Indonesia untuk konsumsi domestic. Fakta lain tentang tembakau adalah semakin lama lahan pertanian tembakau semakin susut dalam periode 2002 – 2005 areal pertanian tembakau turun dari 261.000 hektar menjadi 198.000 jektar. Jumlah petani tembakauoun mengalami penyusutan selam tahun 2002 – 2007 sejumlah 808.897 menjadi 582.093 petani sementara pekerja buruh industri rokok tahun 2006 sebanyak 316.991 pekerja, ini hanyak 1,4% dari seluruh sektor industri.

Regulasi Ketat

Bagaimana peran pemerintah dalam mengintervensi kebijakan terhadap rokok? Sudah seharusnya pemerintah melakukan regulasi terhadap tembakau dan produknya (rokok) lebih ketat. Mengingat beban ekonomi dan sosial yang diakibatkan oleh rokok makin lama makin meningkat dan beban ini ditanggung oleh masyarakat miskin. Hampir 80% perokok mulai merokok pada usia kurang dari 19 tahun. Sebagian mereka merokok akibat pengaruh gencarnya iklan rokok yang umumnya menunjukkan tampilan prilaku sukses, sementara pada usia tersebut kemampuan untuk menilai dan mengambil keputusan secara benar masih belum dimiliki.

Umumnya mereka belum mengerti bahaya merokok sejak muda dan bahaya adiktif merokok. Keputusan komsumen tidak didasarkan atas informasi yang cukup mengenai dampak produk yang dibeli, efek ketagihan dan dampak pembelian yang dibebankan kepaa orang lain. Salah satu cara pemerintah untuk melindungi anak dan remaja mengkonsumsi rokok adalah dengan menaikkan cukai rokok, melarang penjualan rokok pada anak usia di bawah 18 tahun, dan melarang penjualan rokok secara eceran.

Sampai saat ini belum ada ketegasan pemerintah mengenai rokok. Saat ini rancangan peraturan pemerintah tentang pengamanan produk tembakau sebagai zat adiktif bagi kesehatan masih mengalami pembahasan antar departemen. Informasi terakhir yang diterima penulis RPP yang diajukan oleh Kementerian Kesehatan ini mengalami penolakan dari Kementerian lain terutama Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Pertanian. Hal ini yang menjadi dilemma bagi Kementerian Kesehatan karena RPP tersebut merupakan turunan dari UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan.

Hal yang sama dialami undang – undang penanggulangan dampak produk tembakau terhadap kesehatan (UU-PDPTK). Undang – undang ini sudah masuk ke dalam prioritas Prolegnas 2009 – 2014. Isi undang – undang ini diharapkan membawa perubahan positif terhadap dampak merokok. Tetapi, hingga akhir tahun 2010 tidak ada pengesahan dari paripurna DPR meskipun secara substansi sudah tidak ada masalah.

Ada beberapa hal yang mungkin menjadi penghalang. Saah satunya adalah penolakan yang amat kuat dari kalangan industri rokok secara masif dengan cara  mengerahkan massa untuk menolak pembahasan undang – undang ini. Beberapa fraksi di DPR RI pun ikut melakukan penolakan kuat. Mereka ini menghawatirkan dampak negatif terhadap ekonomi dan industri jika disahkan, yang sebenarnya jika merujuk pada data – data diatas tidak mengkhawatirkan sama sekali.  Selain itu, kita semua tahu salah satu jendala dalam terbentuk hingga disahkannya sebuah undang – undang di DP adalah birokrasi yang rumit.

Jadi sekarang kita tinggal lihat bagaimana DPR dan pemerintah agar bisa berperan untuk segera menyelesaikan aturan tersebut mengingat dampak yang berbahaya terutama bagi generasi muda. Tentunya, pihak pemerintah juga harus memberikan solusi yang terkait dengan kalangan industri, buruh, dan petani terhadap dampak yang ditimbulkan oleh regulasi rokok. Kementerian Pertanian misalnya sudah memberikan alternative bagi para petani tembakau yang ingin menanam tanaman semusim yang memiliki nilai jual sebanding dengan tanaman tembakau jika ingin dilakukan  substitusi tanaman.

Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, maupun Kementeria Keuangan sebaiknya memikirkan untuk menaikkan harga cukai rokok sehingga nilai profit menjadio lebih tinggi tanpa harus meningkatkan produksi rokok, segmentasi rokok diubah dari mayoritas kelas menengah kebawah menjadi kelas menengah keatas tanpa harus kehilangan keuntungan perusahaan karena sifat rokok bagi penggunanya adalah inelastic.

Pengawasan dari Kementerian Kesehatan terhadap iklan rokok dan penjualan rokok di tingkat anak remaja juga harus kuat sehingga aturannya menjadi efektif dan dampak dari merokok bisa benar – benar diminimalisasi. Mudah – mudahan harapan dari sebagian rakyat Indonesia untuk bisa terbebas dari jeratan rokok bisa segera terealisasi dengan disegerakannya regulasi tentang rokok. (Satria Pratama – Koran SINDO, 22 Januari 2011).

 

Kesimpulan :

Regulasi ketat terhadap rokok dengan meningkatkan bea cukai merupakan salah satu metode/cara terbaik dari pemerintah untuk meminimalisir dampak rokok terhadap generasi muda bangsa. Namun, untuk mengatasi penolakan – penolakan dari berbagai pihak tersebut khususnya para pengusaha, dan beberapa kementerian tersebut diatas perlu diberikan data yang akurat melalui hasil kajian/analisa terkait yang membuktikan bahwasannya penerapan peningkatan bea cukai rokok tidak akan mematikan perekenomian seperti yang dikhawatirkan. Selain itu, perlu diberikan penjelasan yang jelas pula kepada masyarakat tentang dampak negatif rokok dan dampak positif penerapan regulasi rokok agar masyarakat tidak mudah terprovokasi untuk ikut membela pihak tertentu dalam menolak regulasi rokok tersebut.

KORUPSI DANA PNPM MANDIRI MENINGKAT

TUGAS TEORI ORGANISASI UMUM

TEMA : KASUS/MASALAH METODE ORGANISASI

OLEH  : DIAH EKANINGTYAS (18110052)

KELAS : 2KA20

 

KORUPSI DANA PNPM MANDIRI MENINGKAT

 

Deputi VII Menkokesra Bidang Koordinator Penanggulangan Kemiskinan Sujana Ruyat mengatakan sejak 2007-2010 korupsi dana Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri mengalamai peningkatan. Menurut dia, jumlah dana PNPM Mandiri yang sudah dikorup sejak 2007 – 2010 mencapai 110 miliar. Namun, secara statistik angka korupsi di PNPM Mandiri hanya 0,1% jika dibandingkan denan tingkat korupsi lainnya. Penyalahgunaan dana PNPm Mandiri tidak dilakukan oleh oknum dalam birokrasi pemerintah. Biasanya penyalahgunaan dilakukan oleh fasilitator lapangan dan masyarakat sendiri. “Itu dilakukan oleh masyarakat sendri” ungkap Sujana di Jakarta kemarin.

Menurut Sujana, pihaknya tidak akan main – main lagi dan akan menindak tegas siapa pun yang melakukan korupsi di PNPM Mandiri. “ Jika ada yang kethuan melakukan tindakan korupsi  terhadap PNPM, baik itu dilakukan oleh oknum dari pemerintah maupun masyarakat, maka akan diproses secara hokum. Kami tidak akan toleran lagi terhadap pelaku korupsi di PNPM Mandiri.

Untuk menindak pelaku penyelewengan dana PNPM Mandiri, pihaknya akan konsentrasi pada pemberian efek jera terhadap pelaku sesuai hokum yang berlaku. Disamping itu, dia meminta kepada sejumlah pihak seperti kepolisian, pemerintah daerah, beserta masyarakat untuk ikut memberikan pengawasan terhadap penggunaan dana PNPM Mandiri yang disalurkan kepada Masyarakat.

Hal terberat dalam pelaksanaan PNPM Mandiri, lanjut Sujana, bukkam hanya pada sistem pengawasannya, tetapi sikap permisif masyarakat yang melakukan pembiaran terhadap pelaku penyalahgunaan dana hanya karena yang melakukan adalah tetangganya atau tokoh yang disegani di daerah setempat. “Ke depan diharapkan dengan bantuan dari sejumlah pihak dalam proses penyaluran dan penggunaannya, korupsi dana PNPM Man diri tidak ada lagi”, ujar Sujana.

Dia menambahkan, bahwa pada 2011 anggaran dana yang dialokasikan untuk PNPM Mandiri sebesar 12 triliun. Jumlah tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan dengan PNPM Mandiri pada 2010. “ Target pada 2011, kami akan berusaha mengintegrasikan PNPM Mandiri. Sebab, masih ada sejumlah kementerian yang memiliki program pemberdayaan yang belum mau diintegersikan kedalam PNPM Mandiri. Kami juga akan terus meningkatkan akuntabilits pelaksanaan PNPM Mandiri”, imbhnya.

Peneliti SMERU Muhammad Syukri menilai, model pencairan dari pemerinth pusat memang tidak ada masalah tetapo proses pencairan di tingkat daerah terhadap kelompok peneroma bantuan sangat rentan dimanipulasi, terutama terkait syarat penerima dna PNPM Mandiri. “ Proses pencairan memerlukan perhatian secara serius dan teliti, jangan sampai terjadi manipulasi data kelompok penerima”, terangnya.

Tak hanya itu, menurut Syukri, program PNPM Mandiri dalam kontek pembangunan infrastuktur seperti pembangunan sekolah, jalan, dan jembatan belum erdampak secara langsung pada upaya oemberantasan rakyat miskin. Bahkan, pemberian PNPM Mandiri hanya berdampak pada masyarakat yang tinggal di daerah, itu pun belum bisa dikatakan berhasul. (andi setiawan- Koran SINDO 22 Januari 2011).

 

Tanggapan:

Banyak masalah yang tengah dihadapi oleh Negara ini salah satunya adalah kemiskinan dan kebodohan, untuk itu pemerintah melakukan salah satu upaya(metode) untuk pemberantasan rakyat miskin yaitu dengan menerapkan program PNPM Mandiri dengan anggaran APBN. Namun, anggaran program PNPM Mandiri itu sendiripun masih dikorupsi bahkan mencapai 110 miliar dalam kurun waktu 4 tahun, atau rata – rata 27,5 miliar per tahun baik oleh aparat pemerintah ataupun masyarakat sendiri yang mengkorupsi. Hal ini membuktikan rusaknya mentalitas bangsa kita. Lalu bagaimana kita bisa bangkit dan mengatasi segala permasalahan bangsa ini jika setiap orang hanya berfikir egois dan tidak ada persatuan untuk memperbaiki bangsa ini? Program PNPM Mandiri salah satu contoh fasilitas yang telah dianggarkan pemerintah dengan sasaran pemberantasan rakyat miskin yang belum mencapai optimalitas penerapannya. Akan lebih baik jika setiap pihak yang terlibat sadar akan sasaran program ini dan saling bantu mencapai sasaran tersebut baik dalam pelaksanaannya dan pengawasannya. Semoga Bangsa ini senatiasa bersatu untuk hari yang lebih baik.

PAJAK SISTEM “ONLINE” TIDAK MENCAPAI TARGET

Tema : Metode Organisasi

PAJAK

SISTEM “ONLINE” TIDAK MENCAPAI TARGET

Jakarta, Kompas 14 November 2010

 

DPRD – DKI Jakarta mempertanyakan lambannya penerapan sistem pajak online pada hotel, restoran, tempat parker swasta, dan tempat iburan. Dari target 800 wajib pajak yang seharusnya mengikuti sitem online, baru 240 wajib pajak yang ikut.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seharusnya bersikap tegas untuk memaksa para wajib pajak mengikuti sistem pajak online. Tanpa penerapan sistem ini, kebocoran pemasukan dari pajak tidak dapat dihindarkan,”kata ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta M Sanusi, Sabtu (13/11) di Jakarta Pusat.

Selama ini, wajib pajak menghitung sendiri jumlah pajak yang harus disetor ke pemerintah. Kemudian petugas pajak memeriksanya. Pertemuan wajib pajak dengan pengawas pajak sangat rawan menciptakan kolusi untuk memperkecil penyetoran jumlah pajak.

Banyak pengusaha tidak membayar pajak sesuai jumlah seharusnya. Padahal, pajak itu sudah dibayar pengguna jasa atau pembeli dan statusnya hanya dititipkan kepada pengusaha untuk disetorkan kepada pemerintah.

Anggota Komisi C DPRD DKI, Ahmad Husein Alaydrus, mengatakan, solusi untuk mengatasi kebocoran pemasukan daerah ini adalah penerapan sistem online agar transaksi dari computer atau mesin pembayaran kasir langusng terhubung dengan computer Dinas Pelayanan Pajak (DPP). Sistem ini akan member informasi jumlah pajak yang harus dibayar secara akurat.

Gubernur Fauzi Bowo mengatakan, masalah teknis dilapangan menjadi hambatan utama penerapan sistem ini. Pengusaha yang memiliki mesin cash register dengan printer internal tidak dapat begitu saja mengikuti sistem ini karena perlu izin dari penyedia layanan mesin itu.

Selain itu, pemasangan sistem online pada server pengusaha juga membutuhkan izin khusus dari penyedia aplikasi server. Hal – hal teknis ini yang menyebabkan target pemasangan sistem online belum tercapai.

Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Iwan Setiawandi mengatakan, selain masalah izin dari para penyedia jasa layanan mesin kasir dan server, terdapat masalah lain yang membelit.

Masalah itu adalah ketidaksesuaian alat untuk sistem online dari pemerintah dengan mesin kasir yang digunakan wajib pajak dan ketidak mampuan pengusaha untuk mengoperasikan piranti lunak sistem online.

Mereka kini mempelajari masalah – masalah itu untuk mencari solusinya. Pada tahun 2011, dinas pelayanan pajak diharapkan mempunyai solusi untuk mempercepat penerapan sistem online demi menghindari kebocoran pemasukan dari pajak.

Fokus DPP tahun depan menerapkan sistem pajak online pada restoran, Mesin kasir di restoran dinilai lebih sederhana ketimbang di hotel, tempat hiburan atau tempat parker. Jika target penerapan sistem online 800 wajib pajak tercapai, DPP menargetkan penerapannya pada 3.000 wajib pajak yang lain. (ECA)

 

Komentar:

Sistem online perhitungan pajak merupakan salah satu metode yang digunakan Dinas Pelayanan Pajak dalam mengantisipasi kebocoran pemasukan pajak.

Wajib pajak terkait dapat mengetahui jumlah pajak yang seharusnya dibayar secara langsung dengan menggunakan sistem online ini. Praktis sistem ini akan mengurangi biaya operasional dari wajib pajak(pengusaha) dalam melakukan perhitungan pajak, selain itu sistem ini juga memudahkan DPP dalam melakukan pemantauan pemungutan pajak, sehingga dapat menekan bahkan menghilangkan kecurangan – kecurangan yang terjadi dalam perhitungan dan pembayaran pajak. Namun, pembuatan sistem ini tidak memperhitungkan aspek pengguna, sehingga sistem tidak dapat diterapkan secara langsung. Akan lebih baik jika sebelum membuat sistem, dilakukan survey sistem (pembelajaran terhadap sistem) yang telah digunakan oleh wajib pajak yang nantinya akan berperan sebagai end-user, sehingga sistem yang tercipta dapat diintegrasikan dengan sistem yang sudah ada (milik wajib pajak).

Beberapa solusi lain yang mungkin dapat dilakukan oleh DPP yaitu :

  1. Bekerjasama dengan pihak pembuat mesin pembayaran kasir untuk mengintegrasikan sistem perhitungan pajak online di dalamnya, kemudian mensosialisasikan kepada wajib pajak;
  2. Membuat aturan untuk setiap produsen mesin wajib mengintegrasikan sistem perhitungan pajak online dalam sistem mesinnya;
  3. Membuat model sistem pembayaran kasir yang terintegrasi dengan perhitungan pajak online, ditunjang dengan peraturan yang mewajibkan setiap produsen mesin menggunakan model tersebut.
  4. Setelah sistem terintegrasi terbentuk DPP perlu mengadakan sosialisasi cara penggunaan sistem tersebut.

Oleh : Diah Ekaningtyas (18110052)

REMUNERASI SEBAGAI PENGHARGAAN KINERJA PEGAWAI PEMERINTAH

REMUNERASI SEBAGAI PENGHARGAAN KINERJA PEGAWAI PEMERINTAH

oleh Diah Ekaningtyas

ABSTRAK

Remunerasi merupakan suatu penghargaan yang diberikan pemerintah atas kinerja suatu pegawai pada suatu instansi pemerintah berupa tambahan tunjangan gaji. Namun, penerapan remunerasi ini sering dinilai tidak efektif mengubah budaya kerja pegawai dan menimbulkan kesenjangan sosial antar instansi pemerintah. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan terhadap kriteria penilaian remunerasi dan tentang kaitannya terhadap kinerja pegawai perintah itu sendiri.

Kata kunci : Reminerasi, kinerja dan budaya organisasi.

  1. I. PENDAHULUAN

Keluhan masyarakat terhadap kualitas pelayanan birokrasi publik sebagian besar instasi pemerintah masih sering muncul saat ini. Hal tersebut menandakan buruknya citra birokrasi pemerintah. Reformasi Birokrasi merupakan salah satu cara Pemerintah dalam membenahi citra buruk dari birokrasi pemerintah yang korup sehingga dapat menciptakan aparatur Negara yang Bersih, Efektif, Efisien, Produktif, dan Sejahtera (BEEPS).

Didalam UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025, Bab IV butir 1.2 menyebutkan :

Pembangunan aparatur Negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur Negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun daerah, agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang – bidang lainnya”.

Berdasarkan Undang – undang tersebut, Reformasi Birokrasi mulai dilakukan di berbagai instansi pemerintah baik pusat maupun daerah.

Lebih lanjut menurut Marli Dahyaridi (2008), Reformasi Birokrasi pada dasarnya mencakup 3 (tiga) program besar yakni :

  1. 1. Reformasi Birokrasi, merupakan usaha pembenahan profesionalisme pegawai negeri, sistem kepegawaian nasional, rasionalisasi jumlah pegawai negeri, penerapan reward & punishment system, dan penataan hubungan antara birokrasi dengan partai politik;
  2. 2. Reformasi Institusi, merupakan usaha pembenahan dan pembentukan institusi pemerintah yang efektif, efisien, produktif dan berorientasi kinerja;
  3. 3. Reformasi Sistem Manajemen Keuangan, merupakan usaha pembenahan sistem manajemen keuangan pemerintah mulai dari aspek perencanaan, pelaksanaan hingga pasca pelaksanaan, termasuk sistem pelaporan keuangan yang efisien, efektif, dan berdasarkan prinsip tata kelola yang baik.

Reformasi Birokrasi pertama kali dilaksanakan melalui Reformasi Remunerasi dengan menunjuk Kementerian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan dan Mahkamah Agung sebagai Pilot Project Reformasi Remunerasi.

Reformasi Remunerasi merupakan penghargaan (reward) kinerja pegawai pemerintah berupa tambahan tunjangan kinerja pegawai diluar gaji pokok dengan standar tertentu. Namun, pembentukan aparatur negara yang bersih, efektif, efisien, produktif, dan sejahtera melalui remunerasi belum dapat terukur efektifitasnya.

Remunerasi yang telah diterapkan pada beberapa Instansi Pemerintah tersebut di atas menyebabkan Instansi Pemerintah yang lain berlomba untuk dapat masuk dalam antrian instansi yang akan mendapat remunerasi selanjutnya. Hal ini mengindikasikan terjadinya kesenjangan sosial diantara pegawai pemerintah tersebut. Sebagai contoh, pendapatan pegawai Instansi Pemerintah yang telah mendapatkan remunerasi untuk golongan II (dua) mencapai Rp. 3 juta per bulan, sedangkan pegawai dengan golongan yang sama pada Instansi Pemerintah yang belum mendapatkan remunerasi hanya sebesar Rp. 1,5 juta. Padahal belum tentu pegawai dengan gaji Rp. 3 juta per bulan tersebut memiliki kinerja yang lebih baik dari pada pegawai yang mendapatkan gaji Rp 1,5 juta per bulan. Hal tersebut dapat dikarenakan kinerja mereka tidak terukur dan tidak adanya prosedur yang jelas dalam pengukuran kinerja.

  1. II. KAJIAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

Pada bagian ini membahas Budaya Organisasi, Kinerja, dan Remunerasi.

  1. Budaya Organisasi

Budaya organisasi atau budaya perusahaan adalah nilai, norma, keyakinan, sikap dan asumsi yang merupakan bentuk bagaimana orang-orang dalam organisasi berperilaku dan melakukan sesuatu hal yang bisa dilakukan. Nilai adalah apa yang diyakini bagi orang-orang dalam berperilaku dalam organisasi. Norma adalah aturan yang tidak tertulis dalam mengatur perilaku seseorang (Muhammad Baitul Alim, 2010).

Budaya organisasi kemudian berkembang menjadi budaya kerja yang meliputi kedisiplinan, sikap dan perilaku serta efektifitas jam kerja pegawai dalam suatu organisasi/institusi.

  1. Kinerja

Lawler dan porter ( 1967 ), yang menyatakan kinerja adalah kesuksesan seseorang dalam melaksanakan tugas. Prawirosentono ( 1999 ), mengemukakan kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika. Dalam perspektif model harapan, kinerja merupakan fungsi dari kemampuan dan motivasi ( Gibson et al, 1985:185 ).

Sedangkan penegertian Kinerja pegawai menurut Bambang Kusriyanto yang dikutip oleh Harbani Pasolong dalam bukunya “Teori Administrasi Publik” adalah “Kinerja pegawai adalah hasil kerja perseorangan dalam suatu organisasi”. (Pasolong, 2007:175)

  1. Remunerasi

Remunerasi adalah merupakan imbalan atau balas jasa yang diberikan perusahaan kepada tenaga kerja sebagai akibat dari prestasi yang telah diberikannya dalam rangka mencapai tujuan perusahaan. Pengertian ini mengisyaratkan bahwa keberadaannya di dalam suatu organisasi perusahaan tidak dapat diabaikan begitu saja. Sebab, akan terkait langsung dengan pencapaian tujuan perusahaan. Remunerasi yang rendah tidak dapat dipertanggungjawabkan, baik dilihat dari sisi kemanusiaan maupun dari sisi kelangsungan hidup perusahaan.

Secara teoritis dapat dibedakan dua sistem remunerasi, yaitu yang mengacu kepada teori Karl Mark dan yang mengacu kepada teori Neo-klasik. Kedua teori tersebut masing-masing memiliki kelemahan. Oleh karena itu, sistem pengupahan yang berlaku dewasa ini selalu berada diantara dua sistem tersebut. Berarti bahwa tidak ada satupun pola yang dapat berlaku umum. Yang perlu dipahami bahwa pola manapun yang akan dipergunakan seyogianya disesuaikan dengan kebijakan remunerasi masing-masing perusahaan dan mengacu kepada rasa keadilan bagi kedua belah pihak (perusahaan dan karyawan).

III. PEMBAHASAN

Kinerja Pegawai pada salah satu instansi pemerintah diukur berdasarkan 2 (dua) aspek yaitu kedisiplinan dan pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi. Aspek disiplin memiliki bobot sebesar 60%, dan pelaksanaan Tupoksi sebesar 40%. Perbandingan bobot aspek disiplin yang lebih besar dibanding pelaksanaan tupoksi didasarkan pada penilaian disiplin pegawai yang masih kurang. Pegawai negeri masih memiliki citra buruk, yaitu datang siang pulang cepat, sering meninggalkan pekerjaan saat jam kerja, atau datang hanya untuk membaca surat kabar. Citra buruk tersebut dalam kenyataannya memang benar adanya pada beberapa unit bagian, namun pada umumnya hal tersebut terjadi pada pegawai – pegawai senior yang kurang memiliki semangat untuk belajar sesuatu yang baru. Sebagai contoh, banyak pegawai senior yang tidak dapat mengoperasikan komputer, hal ini sangat menghambat kinerja, karena sebagian besar pekerjaan saat ini dikerjakan menggunakan komputer. Meskipun demikian, pada umumnya mereka tidak ada keinginan belajar, sehingga atasan tidak dapat memberikan pekerjaan pada mereka. Hal tersebut berdampak pada beban kerja yang tidak berimbang antar pegawai pada suatu unit. Pegawai “baru” yang memiliki kemampuan mengoperasikan komputer dan berbahasa asing pada umumnya mendapat pekerjaan yang berlimpah, bahkan menyebabkan jam kerjanya melebihi jam kerja normal (produktifitas tinggi). Sangat ironi melihat sejumlah pegawai sangat sibuk oleh pekerjaannya yang tak kunjung usai, sisi lain pegawai lain duduk santai membaca surat kabar dan saling bercengkrama.

Produktifitas tinggi pada instansi yang sudah mendapat remunerasi dinilai dan diberikan penghargaan berupa tunjangan remunerasi, namun hal tersebut tidak terjadi pada instansi yang belum mendapat remunerasi. Tunjangan remunerasi tersebut diharapkan dapat menggerakkan pegawai – pegawi yang kurang produktif untuk lebih aktif memperbaiki diri sehingga mendapatkan tugas/pekerjaan dari atasannya. Namun, pada instansi yang sudah memiliki remunerasipun dalam kenyataannya masih terdapat pegawai yang tidak produktif. Sebagian besar dari mereka merasa sudah tidak mampu memperbaiki diri dan pasrah dengan keadaan yang ada. Tuntutan produktifitas dan disiplin yang tinggi menyebabkan mereka merasa terlalu “tua” untuk mengejarnya. Pada umumnya hal tersebut terjadi pada pegawai yang sudah mendekati masa pensiun.

Remunerasi idealnya memang ditujukan untuk meningkatkan produktifitas dan kedisiplinan serta mengubah budaya kerja pegawai. Hal tersebut tidaklah mudah. Penerapan sistem remunerasi memerlukan pengawasan atasan langsung dalam menilai kinerja pegawai di bawahnya. Jika tidak maka banyak pegawai yang “mencari – cari” cara untuk mendapatkan remunerasi tersebut.

Salah satu Instansi pemerintah di Jakarta telah berupaya memenuhi persyaratan remunerasi yang telah ditetapkan Tim Independen Remunerasi. Instansi tersebut telah membuat beberapa prosedur efisiensi pelayanan berupa percepatan pelayanan publik, perbaikan informasi public, serta berbagai tools penunjang untuk dapat mengukur kinerja pegawai, dan kinerja  unit kerja di bawahnya. Diawali dnegan merubah sistem perencanaan yang menggunakan berbagai tools manajemen seperti Balanced Score Card, menyusun KPI (Key Performance Indikator), dan membentuk sub bagian manajemen kinerja pegawai sebagai tim penilai dan pengawas kinerja.

Tim penilai dan pengawas kinerja harus dapat menerapkan aspek – aspek penilaian kinerja secara objektif. Aspek – aspek penilaian kinerja yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja menurut Bernardin dan Russel ( 1995 : 383 ) yaitu:

  1. Quality, Merupakan tingkat sejauh mana proses atau hasil pelaksanaan kegiatan mendekati kesempurnaan atau mendekati tujuan yang diharapkan.
  2. Quantity, merupakan jumlah yang dihasilkan, misalnya jumlah rupiah, unit, siklus kegiatan yang dilakukan.
  3. Timelinness, merupakan sejauh mana suatu kegiatan diselesaikan pada waktu yang dihendaki, dengan memperhatikan koordinasi output lain serta waktu yang tersebut untuk kegiatan orang lain.
  4. Cost effectiveness, merupakan tingkat sejauh mana penggunaan sumber daya organisasi ( manusia, keuangan, teknologi, dan material) dimaksimlkan untuk mencapai hasil tertinggi atau pengurangan kerugian dari setiap unit penggunaan sumber daya.
  5. Need for supervision, merupakan tingkat sejauh mana seorang pekerja dapat melaksanakan suatu fungsi pekerjaan tanpa memerlukan pengawasan seseorang supervisor untuk mencegah tindakan yang kurang diinginkan.
  6. Interpersonal impact, merupakan tingkat sejauh mana pegawai memelihara harga diri, nama baik, dan kerja sama diantara rekan kerja dan bawahan.

Diharapkan dengan sistem yang telah terbentuk tersebut budaya kerja pegawai instansi pemerintah dapat berubah dan memperoleh penghargaan lebih atas kinerja mereka melalui penerapan tunjangan remunerasi.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Tunjangan remunerasi yang telah diterapkan di beberapa instansi pemerintah hendaknya di tinjau kembali efisiensi dan efektifitasnya mengingat beban kerja yang tidak merata.

Bentuk – Bentuk Organisasi

Bentuk-Bentuk Organisasi antara lain :

1. Ditinjau dari Jumlah Pucuk Pimpinan

  • Bentuk organisasi tunggal adalah organisasi yang pucuk pimpinannya ada di tangan seorang.Sebutan jabatan untuk bentuk tunggal antara lain Presiden, Direktur, Kepala, Ketua, Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, Walikotamadya, Camat, Lurah, Rektor, Dekan.
  • Bentuk organisasi jamak adalah organisasi yang pucuk pimpinannya ada di tangan beberapa orang sebagai satu kesatuan. Sebutan jabatan yang digunakan antara lain Presidium, Direksi, Direktorium, Dewan, Majelis.

2. Ditinjau dari Saluran Wewenang

  • Bentuk organisasi jalur adalah organisasi yang wewenang dari pucuk pimpinan dilimpahkan kepada satuan-satuan organisasi di bawahnya dalam semua bidang pekerjaan, baik pekerjaan pokok maupun pekerjaan bantuan.
  • Bentuk organisasi fungsional adalah organisasi yang wewenang dari pucuk pimpinan dilimpahkan kepada satuan-satuan organisasi di bawahnya dalam bidang pekerjaan tertentu; pimpinan tiap bidang berhak memerintah kepada semua pelaksana yang ada sepanjang menyangkut bidang kerjanya.
  • Bentuk organisasi jalur dan staff adalah organisasi yang wewenang dari pucuk pimpinan dilimpahkan kepada satuan-satuan organisasi di bawahnya dalam semua bidang pekerjaan baik pekerjaan pokok maupun pekerjaan bantuan; dan di bawah pucuk pimpinan atau pimpinan satuan organisasi yang memerlukan diangkat pejabat yang tidak memiliki wewenang komando tetapi hanya dapat memberikan nasehat tentang keahlian tertentu.
  • Bentuk organisasi fungsional dan staff adalah organisasi yang wewenang dari pucuk pimpinan dilimpahkan kepada satuan-satuan organisasi di bawahnya dalam bidang pekerjaan tertentu, pimpinan tiap bidang kerja dapat memerintah semua pelaksana yang ada sepanjang menyangkut bidang kerjanya; dan di bawah pucuk pimpinan atau pimpinan satuan diangkat pejabat yang tidak memiliki wewenang komando tetapi hanya dapat memberikan nasehat tentang bidang keahlian tertentu.
  • Bentuk organisasi fungsional dan jalur adalah organisasi yang wewenang dari pucuk pimpinan dilimpahkan kepada satuan-satuan organisasi di bawahnya dalam bidang pekerjaan tertentu, pimpinan tiap bidang kerja berhak memerintah kepada semua pelaksana yang ada sepanjang menyangkut bidang kerjanya; dan tiap-tiap satuan pelaksana ke bawah memiliki wewenang dalam semua bidang kerja.
  • Bentuk organisasi jalur, fungsional dan staff adalah organisasi yang wewenang dari pucuk pimpinan dilimpahkan kepada satuan-satuan organisasi di bawahnya dalam bidang pekerjaan tertentu, pimpinan tiap bidang berhak memerintah kepada semua pelaksana yang ada sepanjang menyangkut bidang kerjanya; dan tiap-tiap satuan pelaksana ke bawah memiliki wewenang dalam semua bidang kerja; dan di bawah pucuk pimpinan atau pimpinan bidang diangkat pejabat yang tidak memiliki wewenang komando tetapi hanya dapat memberikan nasehat tentang bidang keahlian tertentu.

(dikutip dari : http://ikhwan-accoustic.blogspot.com)

Pengertian Organisasi

Organisasi (Yunani: ργανον, organon – alat) adalah suatu kelompok orang dalam suatu wadah unt tujuan bersama.

Dalam ilmu-ilmu sosial, organisasi dipelajari oleh periset dari berbagai bidang ilmu, terutama sosiologi, ekonomi, ilmu politik, psikologi, dan manajemen.[1] Kajian mengenai organisasi sering disebut studi organisasi (organizational studies), perilaku organisasi (organizational behaviour), atau analisa organisasi (organization analysis)

Terdapat beberapa teori dan perspektif mengenai organisasi, ada yang cocok sama satu sama lain, dan ada pula yang berbeda.[1] Organisasi pada dasarnya digunakan sebagai tempat atau wadah dimana orang-orang berkumpul, bekerjasama secara rasional dan sistematis, terencana, terorganisasi, terpimpin dan terkendali, dalam memanfaatkan sumber daya (uang, material, mesin, metode, lingkungan), sarana-parasarana, data, dan lain sebagainya yang digunakan secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan organisasi.[1]

Menurut para ahli terdapat beberapa pengertian organisasi sebagai berikut.

  • Stoner mengatakan bahwa organisasi adalah suatu pola hubungan-hubungan yang melalui mana orang-orang di bawah pengarahan atasan mengejar tujuan bersama [2].
  • James D. Mooney mengemukakan bahwa organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk mencapai tujuan bersama [3].
  • Chester I. Bernard berpendapat bahwa organisasi adalah merupakan suatu sistem aktivitas kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih[4].
  • Stephen P. Robbins menyatakan bahwa Organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan. [5].

Sebuah organisasi dapat terbentuk karena dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti penyatuan visi dan misi serta tujuan yang sama dengan perwujudan eksistensi sekelompok orang tersebut terhadap masyarakat.[1] Organisasi yang dianggap baik adalah organisasi yang dapat diakui keberadaannya oleh masyarakat disekitarnya, karena memberikan kontribusi seperti; pengambilan sumber daya manusia dalam masyarakat sebagai anggota-anggotanya sehingga menekan angka pengangguran [1]

Orang-orang yang ada di dalam suatu organisasi mempunyai suatu keterkaitan yang terus menerus.[1] Rasa keterkaitan ini, bukan berarti keanggotaan seumur hidup.[1] Akan tetapi sebaliknya, organisasi menghadapi perubahan yang konstan di dalam keanggotaan mereka, meskipun pada saat mereka menjadi anggota, orang-orang dalam organisasi berpartisipasi secara relatif teratur.

(Wikipedia, 2010)