MALING AYAM VERSUS KORUPTOR

(Tema : Pelapisan social dan kesamaan drajat)

oleh Diah E

Sering dijumpai beberapa berita di media massa, bahwa seorang maling ayam tertangkap dan dikenai hukuman penjara selama beberapa tahun. Padahal sang maling mengaku terpaksa mencuri ayam untuk makan keluarganya yang benar – benar miskin. Alangkah malang nasib sang maling, jika kita bandingkan dengan kasus korupsi yang saat ini masih hangat dalam perbincangan masyarakat.

Seperti yang sering dilihat di televisi bahwa seorang koruptor mendapat hukuman penjara yang mungkin hampir sama lamanya dengan sang maling ayam. Namun, sangat kontras jika kita lihat nilai uang yang diambil. Hal tersebut tentu dirasakan sangat tidak adil.

Sang maling ayam yang bisanya berasal dari masyarakat kelas miskin, tidak mampu membayar pengacara untuk membelanya. Bagaimana membayar pengacara, untuk makan saja sang maling harus mencuri. Sedangkan sang koruptor yang umumnya berasal dari golongan mampu, dapat dengan leluasa memilih pengacara terbaik menurutnya sehingga dapat membelanya dan menekan jumlah hukuman yang diperoleh.

Perbedaan lapisan sosial ini menyebabkan masyarakat miskin menjadi semakin berada di bawah, bahkan didalam hukum yang sifatnya adil bagi seluruh masyarakat Indonesia. Bukan hanya bidang hukum, kadang dalam pelayanan kesehatan masyarakat golongan bawah juga mendapatkan perlakuan diskriminasi. Biasanya masyarakat yang lebih mampu membayar mendapat pelayanan lebih dahulu dibanding masyarakat bawah.

Untuk itu, perlu peran pemerintah untuk mengatasi hal tersebut, serta perlu kesadaran masyarakat untuk dapat saling berbagi dan membantu sehingga tidak ada lagi perbedaan drajat dalam masyarakat.

HPKU MODIS, TETANGGAKU KELAPARAN….

(Tema : Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Kemiskinan)

oleh Diah E

Perkembangan teknologi Informasi saat ini tidak terlepas dari cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan. Akibatnya banyak peralatan elektronik canggih yang sering dikeluarkan dalam waktu yang berdekatan.  Hal ini membuat masyarakat berlomba – lomba mengikuti tren teknologi dengan harga tinggi. Dilain sisi banyak masyarakat Indonesia saat ini kelaparan karena berada di batas kemiskinan. Banyak gelandangan, pengemis dan masyarakat kurang mampu lainnya. Akibatnya banyak terjadi pencurian ataupun pencopetan barang – barang canggih tersebut seperti Hand Phone (HP).

Dalam hal ini memang tidak dapat kita pungkiri, bahwa tingkat pendidikan dapat menentukan taraf penghasilan seseorang yang berdampak pada tingkat teknologi seperti peralatan elektronik yang dapat dibeli. Namun, hal tersebut sangat kontras ketika semakin banyak pula masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan sulit untuk memperoleh pendidikan karena mahal.

Seharusnya kemajuan teknologi dapat meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat, karena akan berdampak pada kemudahan masyarakat dalam memperoleh informasi. Namun, hal ini belum terjadi saat ini, karena kurangnya sosialisasi pihak terkait terhadap masyarakat miskin tersebut unutk dapat memanfaatkan teknologi guna meningkatkan kualitas pendidikan yang akan berdampak pada peningkatan taraf hidup masyarakat tersebut. Sehingga angka kemiskinan dapat ditekan.

Untuk itu, diperlukan partisipasi dan kepedulian dari seluruh masyarakat untuk dapat membantu pensosialisasian manfaat teknologi sehingga dapat mengurangi tingkat kemiskinan.

AGAMA MEMBUATKU TENANG BUKAN KETAKUTAN….

(Tema : Agama dan Masyarakat)

Oleh Diah E

 

Isu agama memang tidak lepas dari kehidupan bermasyarakat. Sering kita dengar pertengkaran antar warga masyarakat yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman tentang beragama. Sebagai contoh, terjadinya pengusiran warga yang dianggap memeluk aliran sesat pada suatu daerah atau pelarangan pendirian tempat ibadah pada suatu daerah yang didominasi oleh masyarakat tertentu.

Beberapa masalah tersebut berujung pada masalah sosial kemasyarakatan seperti pertengkaran antar warga yang mengatas-namakan agama, sehingga mengganggu ketentraman dan kerukunan antar umat beragama. Anak – anak, wanita dan orang tua dapat menjadi korban karena diliputi rasa ketakutan. Tentu saja hal tersebut akan menghambat aktifitas warga bahkan pergerakan perekonomian masyarakat sekitar apabila dibiarkan terus menerus.

Sebenarnya masalah tersebut dapat diminimalisir apabila setiap pemeluk agama dalam masyarakat dapat memahami bahwa hakekat agama adalah untuk membawa ketenangan dan kedamaian hidup manusia. Sehingga tidak benar jika agama merupakan penyebab pertengkaran ataupun kekerasan yang terjadi antar warga. Apabila ada hal yang salah, bukan agama yang salah akan tetapi orang yang melaksanakannya lah yang salah, baik salah dalam memahami ataupun salah dalam melaksanakannya.

Untuk itu, diperlukan peran tokoh – tokoh keagamaan untuk dapat lebih arif dan bijaksana untuk mengarahkan kelompoknya dalam menyikapi masalah – masalah tertentu. Peran tokoh agama merupakan peran utama, karena dalam beragama khususnya di Indonesia, masyarakat Indonesia bersifat fanatic kepada mereka. Masyarakat sangat menghargai dan percaya kepada tokoh – tokoh tersebut. Selain itu diperlukan kesadaran masyarakat secara umum bahwa kekerasan bukanlah penyelesaian dari suatu masalah. Tidak ada masalah yang tidak dapat di bicarakan, sehingga lebih diperlukan pengertian dan toleransi yang tinggi sehingga dapat berdiskusi dan mencari solusi masalah keagamaan yang terbaik dengan “kepala dingin”. Dengan demikian toleransi dan kerukunan umat beragama tetap terpelihara.

Aku ya aku… Kamu ya kamu…

(Tema : Masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan)

Oleh Diah E

 

“Gotong royong”, mungkin menjadi salah satu kata yang maknanya saat ini jarang kita temui di lingkungan masyarakat perkotaan. Entah sudah berapa lama kata tersebut menjadi kabur dan tampaknnya hanya menjadi wacana semata. Kesibukan dan rutinitas masyarakat kota sehari hari, kemacetan lalu lintas, dan lainnya telah menghabiskan waktu bagi masyarakat kota untuk saling berinteraksi dengan tetangga satu sama lainnya. Hal inilah yang semakin lama semakin mempertinggi sifat egois masyarakat perkotaan. Hubungan antar tetangga menjadi jauh, bahkan ada yang tidak saling mengenal.

Bukan hanya dalam hal bersilaturahmi, dalam hal lain seperti membantu tetangga yang memiliki hajat dengan memberikan sumbang tenaga dan waktu tampaknya sudah tidak jamannya dilakukan lagi bagi masyarakat perkotaan dan dipersimple dengan memberikan sumbangan kepada sang pemilik hajat. Sang pemilik hajatpun saat ini tidak mempermasalahkan hal tersebut. Sehingga hal – hal tersebut bagi masyarakat kota saat ini menjadi hal yang biasa, bahkan mereka tidak peduli “aku ya aku, kamu ya kamu..” sepertinya hal tersebut tepat untuk mencerminkan kondisi sosial yang terjadi pada masyarakat perkotaan. Orang lebih suka hidup mandiri dengan seluruh aktifitas sehari – hari dan tidak peduli dengan yang dilakukan orang lain diluar yang penting saling menghargai.

Berbeda dengan masyarakat perkotaan, pada masyarakat pedesaan toleransi dan kebersamaan masih sangat kental terasa. Bahknan tetangga yang berkilo – kilo jaraknya dapat saling mengenal. Mereka saling membantu memberikan tenaga dan waktunya dan segala yang mereka miliki dan dapat diberikan kepada tetangga yang memiliki hajat.

Perbedaan tersebut seharusnya tidak terjadi. Karena bagaimanapun tetangga adalah saudara terdekat kita. Seharusnya masyarakat perkotaan dapat tetap menjaga hubungan sosial dengan lingkungan sekitar ditengah kesibukan dan kemacetan yang dialami dengan rutin menyempatkan waktu untuk mengikuti acara kebersamaan, saling berkunjung ataupun menjalin silaturahmi lainnya sehingga kebersamaan dapat tetap terjaga dan egoisme dapat ditekan.

MAU BELI KOK DIUSIR..

oleh Diah E.

(Tema : Prasangka dan Deskriminasi)

 

Salah satu masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat kita adalah prasangka yang menimbulkan diskriminasi. Sebagai contoh seorang pemilik lahan dari desa yang datang ke kota dengan pakaian sederhana yang biasa digunakannya dan membawa tas dating ke sebuah showroom mobil. Maka tidak jarang satpam mengusirnya karena dianggap sebagai orang yang tidak pantas. Kalaupun lolos dari satpam , ketika datang ke meja sales disaat yang sama ada orang kota dengan gaya necis yang juga ingin mebeli mobil pasti sang sales akan menyambut orang kota tersebut jauh lebih hangat dan ramah dibanding sang pemilik lahan tadi. Hal tersebut terjadi karena adanya prasangka masyarakat bahwa “tidak mungkin orang model begini akan membeli mobil” , padahal di dalam tasnya  terdapat uang cash untuk membeli mobil sedangkan orang kota yang necis tadi hanya berkeinginan untuk membeli mobil dengan kartu kredit. Kalaupun dilayani, tak jarang mereka melayani dengan jutek agar pelanggan itu menjadi tidak nyaman dan pergi (mengusir secara halus).

Kasus – kasus seperti itu tidak hanya terjadi pada showroom mobil tetapi juga seing terjadi pada pusat – pusat perbelanjaan di kota, khususnya kota – kota besar. Bahkan di toko perhiasan tak jarang pelayan mencurigai pelanggan yang datang ketika mereka berpakaian sederhana.

Masyarakat kita cenderung menilai sesuatu dari penampilahnya saja. Mereka tidak berusaha mencari tahu lebih mendalam terlebih dahulu sebelum berprasangka. Semakin modis penampilan seseorang menunjukkan kesuksesan orang tersebut. Demikian pula sebaliknya semakin sederhana penampilannya menunjukkan tingkat ekonominya. Akibatnya sering orang mencari peluang untuk melakukan penipuan dengan bergaya keren layaknya orang sukses dan banyak korban yang tertipu hanya dengan melihat penampilannya.

Penampilan menentukan prasangka masyarakat terhadap seseorang. Dengan prasangka itulah, masyarakat memutuskan sikap yang diberikan kepada orang tersebut, hangat atau di diskriminasikan. Untuk itu, perlu ditingkatkan kesadaran masyarakat untuk lebih menghargai orang lain bagaimanapun penampilannya. Perlu adanya kesadaran bahwa manusia itu semua sama. Mereka sama – sama diciptakan  dari tanah dan akan kembali ke tanah. Selain itu, perlu ditanamkan bahwa kesuksesan seseorang tidak dapat diukur dengan seberapa mahal benda – benda yang digunakannya karena dimasa sekarang ini benda mahal pun dapat dengan mudah diperoleh menggunakan kredit. Perlu ditingkatkan rasa menghargai upaya orang lain tidak hanya dari hasil yang diperoleh. Dengan demikian prasangka buruk yang sering muncul kepada orang – orang yang sederhana tersebut dapat dikikis perlahan, sehingga perlakuan diskriminasi dapat dihentikan.

BELUM TERBUKTI SUDAH TERSIKSA..

oleh Diah E.

(Tema : Warga Negara dan Negara)

 

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme merupakan topik yang selalu hangat untuk dibicarakan di lingkungan masyarakat Indonesia sampai dengan saat ini. Mulai dari pelaku hingga keluarga yang bersangkutan selalu di perbincangkan di media cetak, ataupun elektronik. Namun akan berbeda cerita ketika seorang tertuduh korupsi yang belum terbukti sudah dihakimi secara sosial khususnya bagi keluarga dan anak.

Anak memang selalu menjadi korban. Seorang anak yang mungkin tidak tahu menahu tentang masalah orang tuanya menjadi korban diskriminasi masyarakat atas kasus korupsi yang sedang menimpa orang tuanya. Di masyarakat, sang anak diolok – olok tetangga, di maki mungkin juga dihujat atas kesalahan orang tuanya. Bahkan mungkin disekolah, sang anak akan dijauhi oleh teman – tamannya karena perintah orang tua yang lainnya untuk menjauhinya. Tidak jarang anak – anak nakal mencacinya dengan mengolok – oloknya. Hal ini tentu saja menimbulkan beban psikologis bagi sang anak. Akibatnya sang anak menjadi malu untuk bersosialisasi, tidak mau belajar, tidak punya teman atau bahkan tiba – tiba menjadi anak yang tertutup.

Tidak hanya kasus korupsi, kasus – kasus kejahatan yang ada dalam masyarakat cenderung membuat masyarakat disekitar yang mengenal tersangka dan keluarganya menghakimi mereka secara sosial. Mereka di hujati oleh perkataan yang tidak enak, menjadi omongan warga, diolok – olok atau bahkan dipermalukan di depan umum. Bahkan tidak jarang yang karena tidak tahan mendapat perlakukan diskriminatif, akhirnya pindah tempat tinggal untuk mencari lingkungan sosial yang baru dan tidak mengenal mereka hanya untuk diperlakukan secara normal. Masalah sosial seperti inilah yang tidak seharusnya terjadi.

Sebagai warga Negara, tersangka korupsi atau kasus apapun berhak mendapat hak praduga tak bersalah, sehingga sebelum hakim memutuskan ia masih mendapat perlindungan atas nama baiknya dan keluarganya. Demikian pula sang anak yang juga sebagai warga Negara ia juga berhak untuk diperlakukan sebagai warga Negara normal walaupun mungkin saja orang tuanya sedang mengalami masalah. Masyarakatpun seharusnya dapat bersikap dewasa untuk memisahkan masalah hukum yang sedang terjadi dengan masalah sosial, sehingga tidak melakukan tindakan diskriminatif kepada keluarga ataupun kepada anak tersangka.

Kesalahan yang dilakukan orang tua belum tentu menurun kepada sang anak, dengan perlakuan diskriminatif itu justru dapat menimbulkan dendam dan amarah bagi sang anak. Untuk itu, diperlukan dukungan masyarakat untuk mengubah pola pikir yang terjadi pada lingkungan seperti tersebut di atas. Karena setiap warga Negara berhak mendapat kebebasan untuk berfikir, berpendapat dan bersosialisasi tanpa ada ketakutan ataupun tekanan dari pihak manapun di Indonesia.

Dengan memperlakukan keluarga khususnya anak tersangka dengan normal dan sewajarnya tanpa harus menyalahkannya atas kesalahan orang tuanya dan memberikan bimbingan dengan lebih baik dapat menjauhkan anak dari beban psikologis yang ada dan membuat dia belajar untuk tidak mengulangi kesalahan orang tuanya sehingga dapat terus menyongsong masa depannya menjadi lebih baik.

CINTAKU TAK SELAMANYA INDAH

Oleh Diah E.

(Analisis Film)

 

Cinta merupakan suatu perasaan alamiah yang dimiliki manusia sebagai kodatnya untuk menyenangi sesuatu. Dimasa remaja, cinta merupakan suatu hal yang sangat menyenangkan, namun tidak semua remaja yang berpacaran merasakan merasakan kebahagiaan dan ketenangan bersama dengan pasangannya.Hal itu disebabkan karena adanya kekerasan dalam berpacaran. Seperti contoh kasus  berikut :

Melati dan Joko adalah sepasang remaja yang sedang berpacaran. Melati adalah seorang mahasiswi yang bekerja paruh waktu pada sebuah perusahaan. Ia berasal dari kerluarga yang sangat sibuk sehingga kurang mendapat perhatian dari keluarga sehingga ia selalu merasa kesepiaan sampi akhirnya ia mengenal Joko dari sahabatnya. Pada awalnya kebersamaan mereka merasa begitu menyenangkan meskipun hubungan tersebut tidak disetujui  oleh orang tua Melati, sampai suatu saat Melati mendapat perlakuan kasar (dipukul dan didorong) dari Joko hanya dikarenakan ia tidak bisa menemani Joko untuk berjalan – jalan ketika ia sedang bekerja. Itu merupakan awal kekasaran Joko, namun ia minta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya. Melati pun memaafkannya karena simpatinya kepada Joko yang sering melihat ayahnya memukul ibunya disaat marah. Ia berharap perlahan – lahan Joko dapat berubah.

Tidak hanya kekerasan fisik yang diterima Melati, lambat laun ia pun mengalami kekerasan ekonomi. Joko sering meminta melati untuk memberikan barang – barang ataupun makanan yang mahal yang Joko suka, seperti suatu saat ketika Joko meminta Melati untuk membayarkan Handphone yang ingin ia beli dari seorang teman dengan harga 5juta rupiah. Ketika Melati menolak, Joko pun memarahinya sehingga Melatipun memutuskan untuk menurutinya. Bukan hanya itu, Joko pun tidak menyukai Melati dekat dengan siapapun apalagi lelaki. Kecemburuan Joko membuat Melati mendapat lebih banyak perlakuan kasar, pernah suatu saat hingga dia disiram air di kamar mandi, dipukul, dimaki dijambak dan banyak lagi, tetapi Melati tetap memaafkannya dan masih berharap Joko berubah sehingga mereka bisa memulai hubungan baru. Namun, harapan itu hanya sebatas harapan setiap kali marah Joko selalu bertindak kasar hingga suatu saat melati tidak sanggup lagi dan bercerita kepada Sahabat lelakinya. Tetapi hal tersebut tidak menolongnya , Ia tetap mendapat perlakuan kasar dari Joko sampai akhirnya Melati memutuskan untuk lari dari Joko.

 

Kisah Melati dan Joko tersebut merupakan suatu fenomena sosial yang jarang kita sadari. Wanita sering menjadi korban kekerasan tersebut karena kelembutan hatinya  dan cintanya khususnya remaja yang masih labil.

Remaja (pemuda/pemudi) merupakan sosok yang masih labill. Proses pertumbuhan dan perkembangan kepribadian, serta penyesuaian diri secara jasmaniahdan rohaniah sejak dari masa kanak-kanak sampai usia dewasa dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti keterbelakangan mental, salah asuh orang tua atau guru, pengaruh negatif lingkungan. Hambatan tersebut memungkinkan seorang remaja melakukan kenakalan atau meniru perlilaku orang tuanya.  Seperti kondisi Joko yang selalu melihat ayahnya memukul ibunya  ketika marah merupakan salah satu kesalahan sosialisasi orang tua kepada sang anak sehingga membekas pada psikologisnya dan membuat kecenderungan ia melakukan ha yang serupa ketika ia marah.  Demikian pula dengan Melati, kesibukan orang tua dan keluarga membuat ia merasa kesepian dan ingin mencari sosok seseorang yang dapat memperhatikannya dan selalu menemaninya. Sehingga ketika Joko melakukan kekerasan kepadanya ia masih merasa takut melepas Joko, karena ketakutannya untuk merasa kesepian.

Peran orang tua dalam perkembangan pemuda/pemudi dalam lingkungan sosial merupakan hal paling penting dan berat. Kesalahan dalam pola pendidikan dan perhatian dapat membuat jiwa pemuda/pemudi tersebut menjadi salah arah. Perlu adanya sosialisasi sedari dini terhadap lingkungan sosial dalam bertindak dan berperikaku didalamnya.

Dalam kasus Melati dan Joko tersebut seharusnya :

  1. Melati dapat menjadi diri sendiri, tidak perlu mengikuti arus yang berlalu. Dengan demikian, ia lebih dapat memutuskan yang terbaik bagi dirinya dan tidak ada lagi ketakutan akan perasaan kesepian atupun ditinggalkan;
  2. Melati harus berani mengatakan “TIDAK”.  Dengan menjadi diri sendiri tersebut, ia dapat memutuskan yang mana hal masih dapat ditorerir dan yang tidak. Ketika suatu masalah sudah tidak dapat ditorerir maka katakan “TiDAK” dapat memutuskan Melati dari penyiksaan yang dia alami;
  3. Komunikasi dengan keluarga/sahabat/orang terdekat dapat meringankan beban pikiran dan perasaan kita. Mereka juga dapat membantu memberikan saran dan solusi atas masalah yang kita hadapi sehingga Melati tidak perlu mendapat penyiksaan yang berlarut – larut karena orang – orang terdekatnya berupaya melindunginya;
  4. Melati dapat melaporkan kekerasan tersebut kepada pihak berwajib karena telah melanggar undang – udang hukun perdata;
  5. Joko seharusnya mendapat pembinaan psikologis dari sang ahli untuk menghilangkan kebiasaannya untuk menyakiti orang lain disaat ia marah;
  6. Orang tua Joko pun seharusnya menyadari bahwa perbuatan mereka menyebabkan anaknya mengalami gangguan psikologis yang merugikan orang lain, sehingga mereka sadar dan berusaha berubah;

Dengan bantuan dari berbagai pihak tersebut, diharapkan kasus kekerasan dalam berpacaran tidak lagi terjadi pada pemuda/pemudi dalam masyarakat sosial, karena cinta adalah kedamaian dan ketentraman bukan dengan kekerasan dan ketakutan.

SUDAH GEDE KOK GAK TAHU SOPAN SANTUN…

oleh Diah E.

(Tema : Pemuda dan Sosialisasi)

 

Masa muda adalah masa yang paling menyenangkan. Di masa – masa inilah seorang remaja dapat mengekspolasi seluruh kemampuannya, melakukan apa saja dan berjuang menjadi apa saja yang mereka inginkan. Namun, dibalik kebebasan tersebut pastilah ada aturan – aturan (norma) dalam masyarakat yang harus mereka patuhi salah satunya sopan santun. Hal inilah yang sering dianggap membatasi kebebasan remaja.

Dulu, seorang anak (remaja) sangat takut kepada orang tua. Mereka sangat menghargai orang tua sebagai seorang sosok yang bijaksana bagikan sang raja. Segala yang diperintahkan orang tua khususnya sang ayah adalah perintah yang harus diikuti. Tidak hanya dengan orang tua kandung, namun juga kepada orang yang lebih tua mereka sangat menghargainya. Tidak boleh keluar malam – malam khususnya bagi wanita karena dianggap anak nakal, bicara harus menatap mata lawan bicara, tidak boleh mengangkat kaki ketika makan, tidak boleh melipat kaki ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, tidak boleh berbicara keras dan kasar kepada orang yang lebih tua, tidak boleh menyebut “aku” – “kamu” saat bebebicara dengan orang yang lebih tua tetapi “saya” dan “anda” dan lain sebagainya merupakan suatu norma yang harus dipatuhi remaja.

Namun, tampaknya fenomena tersebut sudah bergeser. Sopan santun kepada orang yang lebh tua baik dalam keluarga dan masyarakat bukan lagi hal utama yang harus dijaga. Perkembangan teknologi, kemajuan jaman, dan perubahan pola piker masyarakat membuat mereka berfikir dan bertingkah laku dengan lebih bebas. Keluar malam dan nongkrong bersama teman hingga larut malam, berbicara dengan orang yang lebih tua sambil mendengarkan musik dengan earphone, mengangkat kaki ketika makan dan berbicara kepada orang tua, tidak menatap mata orang yang diajak bicara, berbicara keras bahkan membentak orang yang lebih tua, mengatakan “aku”-“kamu” bahkan “lo”- “gue” kepada orang yang lebih tua dianggap wajar saat ini.

Bagi orang “jaman dulu” hal – hal tersbut dianggap tidak sopan beberapa dianataranya bahkan marah. Namun, bagi orang tua “modern” saat ini hal tersebut tidak diambil pusing, mereka berasumsi bahwa hal – hal tersebut merupakan hal yang wajar. Fenoena inilah yang semakin menimbulkan jurang pemisah antara remaja dan orang yang lebih tua.

Kurangnya sosialisasi orang tua kepada anak – anak tentang cara bertindak dan bertingkah laku dalam masyarat juga merupakan faktor utama perilaku kurang sopan tersebut. Remaja pun berfikir itu merupakan hal yang wajar karena seluruh teman – temanya melakukannya. Jika dibiarkan masalah ini semakin memperdalam jurang pemisah antara generasi muda dan generasi tua sehingga sering menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Beberapa diantara generasi tua tersebut akhirnya memilih untuk mengikuti dan membiarkan masalah “ketidak sopanan” itu terjadi dengan alas an terlalu sayang kepada sang anak.

Untuk itu perlu adanya kesadaran bersama anatara generasi muda dan generasi tua untuk saling mengerti dan mencari jalan yang tengah yang terbaik dalam bertingkah laku. Sebagai generasi tua, orang tua hendaknya memupuk sopan santun anak sedari kecil dan selalu mendampingi dengan memberikan sosialisasi cara bertingkah laku saat sang anak masuk dalam lingkungan bermasyarakat. Tetap memberikan batas – batas kepada sang anak terhadap apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak dapat dengan tetap memberikan kebebasan mereka untuk bertindak dapat membantu menengahi masalah dan mengurangi “ketidaksopanan” yang terjadi. Sebagai generasi muda pun, harus ada kesadaran bahwa mereka tinggal dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai – nilai dan norma sopan santun, sehingga dapat lebih mengendalikan diri dalam bertingkah laku dan akhirnya dicapai suatu kebebasan yang bertanggung jawab.

CARI UANG TU GAMPANG….

oleh Diah E.

(Tema : Penduduk, Masyarakat dan Kebudayaan)

 

Jakarta sebagai ibu kota Negara merupakan salah satu tujuan migrasi penduduk dari berbagai daerah. Walaupun sudah menjadi rahasia umum jika kemacetan merupakan salah satu momok utama, namun setiap tahun migrasi penduduk dari berbagai daerah ke Jakarta tidak dapat dielakkan. Hal ini terjadi karena adanya asumsi mudahnya mengais rezeki di Ibu Kota ketika tetangganya yang pulang dari Jakarta mengatakan “Cari uang tu gampang”.

Iming – iming gampangnya mencari uang itulah yang membuat masyarakat ingin mencoba peruntungan tanpa membekali diri dengan berbagai keterampilan hanya “seadanya”. Akibatnya jumlah penduduk Jakarta yang semakin bertambah, bukan hanya karena migrasi penduduk, namun juga karena tingginya tingkat kelahiran dan rendahnya tingkat kematian karena kemajuan ilmu pengetahuan. Keterbatasan bekal yang dimiliki oleh para migran menyebabkan mereka tersisih dan berusaha melakukan apapun untuk hidup. Hal tersebut akhirnya menimbulkan banyak masalah sosial dalam masyarakat salah satunya dikarenakan kemiskinan.Sering kita jumpai diberbagai ruas jalan yang padat, anak – anak usia sekolah, langsia bahkan orang dewasa yang masih tampak sehat mengemis, mengamen dan menjadi gelandangan.

Anak – anak yang seharusnya masih duduk di bangku sekolah untuk menuntut ilmu, harus mencari uang untuk makan, sehingga timbul di benak mereka bahwa menggelandang itu menyenangkan. Bayangkan hanya dengan sebotol beras yang dijadikan alat music atau tepukan tangan mereka bisa mengumpulkan uang untuk makan “cari uang tu gampang”. Hal tersebut sangat buruk. Bukan hanya keselamatan mereka yang dikhawatirkan ketika berada dijalan raya tetapi pola pikir bahwa sekolah itu tidak penting dapat mematikan masa depannya dan memicu timbulnya masalah – masalah sosial yang lain.

Jika ditarik kesimpulan, penyebab utama masalah – masalah tersebut diatas adalah tingginya angka kelahiran penduduk ataupun migrasi yang tidak terarah. Banyak orang yang menginginkan memiliki banyak anak, namun mereka tidak memikirkan kesiapan finansial dalam merawat dan membesarkan sang anak. Masih adanya asumsi “Banyak anak, banyak rezeki” juga merupakan salah satu dasar masyarakat ingin memiliki banyak anak. Akibatnya kepadatan penduduk tidak dapat dielakkan. Dengan luas lahan yang terbatas, kemampuan atau keterampilan dan tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan setiap orang harus bersaing lebih ketat untuk hidup dan migrasi ke kota besar seperti Jakarta menjadi salah satu upaya yang mereka lakukan.

Untuk mengatasi hal – hal tersebut, diperlukan kesadaran kepada masyarakat bahwa untuk mencari uang/rezeki tidak hanya membutuhkan keberanian dan keberuntungan. Ilmu dan keterampilan sangat diperlukan, sehingga diperlukan investasi pendidikan yang memadahi. Untuk itu, kesadaran orang tua untuk dapat menyediakan pendidikan sang anak sangat dibutuhkan. Dengan mengendalikan kelahiran anak, perencanaan pendidikan ataupun masa depan sang anak dapat lebih diperhatikan. Diperlukan pula peran Pemerintah dalam mengatasi masalah kependudukan seperti menggalakkan kembali program KB, meningkatkan sosialisasi dan memberikan keerampilan kepada masyarakat miskin sehingga mereka dapat mencari uang tidak dengan menggelandang.

GAK NYOBA GAK BEKEN….

oleh Diah E.

(Tema : Individu, Keluarga dan Masyarakat)

Dimasa yang serba berbasis IT saat ini, informasi sangat mudah didapat baik yang bersifat positif ataupun negative. Namun tampaknya masyarakat kita belum siap menerima kecanggihan dan kemudahan yang ditawarkan saat ini, sehingga sering terjadi penyalahgunaan kemajuan teknologi.

Salah satunya, banyak anak – anak, remaja dan orang dewasa yang dapat dengan mudah mengakses film porno. Akibatnya tingkat pelecehan seksual, seks bebas, pemerkosaan yang terjadi saat ini meningkat, bahkan beberapa diantaranya dilakukan oleh anak – anak usia 13 – 17 tahun yang seharusnya masih dengan tekun menuntut ilmu. Namun, internet bukan merupakan penyebab utama semua itu, kurangnya bimbingan orang tua dan pengaruh masyarakat sekitar juga merupakan penyebab utama.

Masalah sosial yang terjadi saat ini memang tidak lepas dari pengaruh orang tua/keluarga. Saat ini tingkat egoisme masyarakat sangat tinggi termasuk orang tua. Mereka sibuk dengan pekerjaan dan menganggap peralatan canggih yang ada saat ini sudah cukup membantu mengkomunikasikan keberadaan mereka dengan sang anak. Namun dalam psikologis anak, mereka merasa kesepian dan akhirnya mencari hiburan sendiri. Hal ini diperkuat dengan rasa ingin tahun remaja yang ingin mencoba berbagai hal yang dianggapnya menarik dan “ikut-ikutan” seperti rekan sebayanya atau orang lain yang dia lihat “keren” hanya untuk diakui keberadaannya. Anak – anak khususnya remaja selalu ingin dianggap gaul, sehingga selau ingin mencoba sesuatu yang baru tanpa tahu bahaya ataupun resikonya.

Rasa penasaran, keinginan untuk diakui dalam masyarakat, kurangnya pengawasan orang tua seperti itulah yang memacu munculnya masalah sosial. Banyak anak ikut – ikutan mencoba rokok dan bertingkah layaknya orang dewasa yang menikmati hisapan – demi hisapan hanya untuk dianggap gaul. Banyak pula diantaranya tidak dapat menahan nafsu setelah menonton film porno dan melakukan pelecehan seksual bahkan pemerkosaan. Ada pula yang mencoba narkoba karena ajakan teman, pengaruh sinetron. Bahkan ada yang memukuli teman sebayanya layaknya jagoan idolanya di film hingga meninggal dunia.

Semua masalah tersebut seharusnya tidak perlu terjadi dan dialami oleh generasi muda Bangsa ini. Bagaimana nasib Bangsa ini jika tidak ada lagi generasi muda yang sehat dan peduli. Untuk itu diperlukan kerjasama seluruh lapisan masyarakat khusunya orang tua. Seharusnya, peran orang tua dapat berfungsi lebih efektif dengan lebih banyak meluangkan waktu untuk memperhatikan dan berkomunikasi dengan anak. Disaat seperti itulah mereka dapat memberikan bimbingan lebih mendalam tentang perilaku sosial yang boleh dan tidak dilakukan kepada sang anak, sehingga anak selalu merasa dekat dan tidak kesepian. Akhirnya keterbukaan pun terjadi antara hubungan anak dan orang tua.

Selain dari fungsi orang tua, fungsi agama juga membawa pengaruh besar dalam kehidupan sosial. Saat ini kecenderungan masyarakat menjalankan agama hanya sebagai suatu rutinitas sehingga larangan agama sering kali diabaikan. Hal ini lah yang membuat seseorang kehilangan pegangan dan berbuat semaunya.Untuk itu, diperlukan penyadaran yang lebih mendalam tentang agama melalui pengajian rutin (Islam), ataupun melakukan kajian – kajian keagamaan secara kontinyu. Dengan demikian diharapkan keimanan masyarakat meningkat, kesadaran bermasyarakatpun meningkat dan masalah sosial dapat berkurang seiring berjalannya waktu.

« Older entries